Ringkasan Novel Sang Pemimpi
Merajut Mimpi dari Belitung
“Berkelanalah
di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaikmu!” (SP: 53) Berawal dari
kalimat sederhana itu, Ikal, Arai, dan Jimbron mengkristalisasikan harapan
agung mereka dalam satu statement yang
sangat ambisius: bersekolah di Prancis. Mengingat keadaan mereka yang sangat
terbatas, mungkin kita berpikir bahwa harapan itu hanya akan menjadi mimpi
belaka. Namun besarnya kekuatan sebuah mimpi dalam ikatan persahabatan berhasil
mewujudkan harapan agung itu.
Ikal, Arai dan Jimbron berjuang untuk
merajut mimpi mereka di SMA Negeri Bukan Main yang jauh dari kampung. Mereka
tinggal di salah satu los di pasar kumuh Magai Pulau Belitong dan bekerja
sebagai kuli ngambat untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Selama bersekolah,
mereka sama seperti anak remaja lainnnya. Banyak kejahilan yang pernah mereka
lakukan. Mereka pernah mengejek Pak Mustar saat upacara bendera sehingga harus
berlari dan bersembunyi di balik tumpukan peti es yang bau ikan busuk (SP:
11-20). Lalu, mereka pernah menyamar sebagai perempuan berjilbab untuk menonton
film dewasa di bioskop. Lagi-lagi mereka ketahuan Pak Mustar dan dihukum
menteaterkan cerita film dewasa tersebut di depan sekolah serta membersihkan WC
(SP: 118-125).
Walaupun
begitu, perbuatan jahil tersebut tidak menutupi perbuatan baik yang mereka
lakukan seperti ketika Ikal harus bergelut dengan Arai di toko A Siong untuk
membeli bahan kue yang ternyata untuk membantu Mak Cik (SP: 41). Pada peristiwa
ini tampak sisi Arai yang berhasil membuat Ikal terpesona. Arai merupakan
keturunan terakhir dari keluarganya. Waktu ia kelas satu SD, ibunya meninggal
saat melahirkan adiknya. Arai yang pada saat itu berumur enam tahun dan ayahnya
gemetar di samping jasad sang ibu yang memeluk bayi merah bersimbah darah. Lalu
Arai tinggal dengan berdua dengan ayahnya. Kepedihan belum mau menjauhi Arai.
Menginjak kelas tiga SD, ayahnya meninggal dunia. Arai pun diangkat oleh orang
tua Ikal. Sosok Simpai Keramat ini memang sulit dimengerti jalan
pikirannya, seperti ketika dia rela bekerja untuk Capo La Nyet Pho demi
meminjamkan kuda Pangeran Mustika Raja Brana kepada Jimbron yang terobsesi
dengan kuda. Namun perbuatan Arai tidak hanya membuat Jimbron bahagia, secara
tidak langsung dia juga berhasil membuat Laksmi tersenyum untuk pertama kalinya
saat Jimbron menunganggi kuda tersebut di depan Laksmi (SP: 128-129). Pikiran
Arai memang sulit dimengerti, namun buah hasil pikirannya itu dapat membuat
orang lain terpesona.
Selain Arai, Ikal dan Jimbron juga
mempunyai sisi yang tak kalah memesona. Dalam novel ini, Ikal digambarkan
dengan karakter yang suka menolong. Karakter itu tampak ketika Ikal membantu
Arai menjumpai Bang Zaitun untuk memperjuangkan cinta Arai pada Nurmala. Pada
peristiwa ini pun di gambarkan tokoh Arai yang romantis dengan menyanyikan
lagu I
Can’t Stop Loving You di depan rumah Nurmala (SP: 149-152). Jika kalian berpikir Nurmala
dan Arai berpacaran, kalian salah. Nurmala merupakan sosok wanita yang tak
acuh. Banyak salam, puisi, bahkan pantun yang sudah diberikan, namun tembok
Nurmala tetap saja kokoh. Hanya lagu I
Can’t Stop Loving You yang mampu membuat seorang Zakiah Nurmala tersenyum
pada Arai.
Jimbron adalah lelaki yang lembut,
dan tenang “Walaupun langit akan tumpah,
ia selalu tenang. Ini salah satu sifat naturalnya (SP: 112)”. Jimbron juga
suka membantu orang lain seperti ketika dia rela membantu Laksmi setiap minggu
pagi dan ketika Jimbron memberikan celengan kuda yang selama ini dia tabung
kepada Arai dan Ikal yang hendak merantau. Sama halnya dengan Arai, ia juga
seorang yatim piatu yang diangkat oleh Pendeta Giovanni. Penyakit gagapnya
didapat ketika ayahnya tiba-tiba sakit dan tak tertolong. Ada satu hal yang
membuat Jimbron special dibandingkan tokoh lainnya yaitu sifat obsesinya
terhadap kuda. Jika suatu saat kau menonton film Zorro dengan Jimbron, jangan
pernah tanyakan jalan cerita film itu. Dia tidak tahu. Tapi tanyakan jumlah
kuda yang terlihat, berapa kuda hitam dan putih, bahkan berapa kali terdengar
suara kuda meringkik, ia ingat betul.
Ada pula konflik pada novel ini yang
kita semua pasti pernah alami, yaitu rasa pesimis. Dengan keadaan yang serba
keterbatasan, Ikal mulai berpikir bahwa cita-citanya untuk bersekolah di
Prancis hanya akan menjadi mimpi belaka. Ia pun mulai patah semangat dan malas
belajar. Puncak konflik pada novel ini terlihat ketika Pak Mustar yang seram
memarahi Ikal yang mendapat kursi 75. Sosok Pak Mustar yang lekat dengan kata
seram, garang pun memunculkan rasa perhatiannya. Bagaimana bisa sosok Ikal yang
selalu duduk di garda depan kini mendapati kursi 75? Namun nasi sudah menjadi
bubur, Ikal hanya bisa meratapi nasibnya. Arai yang mendengar kabar saudaranya
duduk di kursi 75 pun mengeluarkan emosinya, “Biar kau tahu Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali
semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi
mimpi-mimpi itu!!” (SP: 108). Walaupun begitu, Ayah Ikal tetap datang
dengan baju safari empat saku kebangaannya dan berhasil mengembalikan semangat
Ikal yang sempat patah.
Walau akhirnya mereka berhasil
merantau, mereka harus terpisah ketika bersekolah di jenjang yang lebih tinggi.
Pada saat itu Ikal bersekolah di Jakarta dengan mengambil jurusan ekonomi dan
bekerja sebagai tukang pos. Lain dengan Arai yang bersekolah di Kalimantan dan
mengambil jurusan Biologi. Namun, mereka tetap dipertemukan ketika
mengikuti ujian beasiswa untuk sekolah
di Prancis dan kembali menuntut ilmu di Prancis.
Banyaknya pulau di Indonesia mungkin
membuat kita hanya melihat gambaran kota-kota besar. Bagaimana dengan kota
Belitong? Kota dengan budaya Melayu yang mereka miliki. Banyak nilai-nilai
budaya yang dapat kita petik dari budaya Melayu seperti pentingnya menghargai
padi atau makanan “Para orangtua Melayu
tahu persis bahwa padi didalam peregasan sudah tak bisa dimakan. Namun, bagi
mereka peregasan adalah metafora, budaya, dan perlambang yang mewakili periode
gelap selama tiga setengah tahun Jepang menindas mereka.(SP 29)”, dan
kehidupan Melayu yang penuh kesederhanaan “Di
kampung orang Melayu pedalaman tak ada kuda. Jangan kuda, kedelai pun tidak.
Zaman dulu orang Melayu berpegian naik perahu atau berjalan kaki (SP: 113)”.
Novel ini tidak hanya berhasil
membuka pikiran kita tentang pentingnya pendidikan, namun juga menyangkut norma agama yang berkaitan dengan nilai
religius seperti rasa ketergantungan kepada Tuhan Yang Maha Esa “Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum
pada kepribadian dan daya hidupnya. Kesedihan hanya tampak padanya ketika ia
mengaji Al-Qur’an. Di hadapan kitab suci itu ia seperti orang yang mengadu,
seperti orang yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang melawan rasa
kehilangan orang dicintainya (SP: 27).”, dan pada saat Jimbron diantarkan
oleh pendeta Geovanny ke masjid yang menandakan tingginya toleransi beragama
(SP: 46). Selain norma agama, adapula norma etika yang berkaitan dengan nilai
moral yaitu jika kita sudah sukses di perantauan, kita tidak boleh lupa dengan
kampung halaman “Beberapa mahasiswa
Belitong yang tengah kuliah di Jawa dan bercita-cita mulia membangun desanya
sehingga nasib penduduk Belitong jadi lebih baik, pulang kampung.”, tabiat
pemimpin zaman sekarang yang perilakunya semakin buruk dengan mementingkan diri
sendiri dan melupakan kesejahteraan rakyat “ITULAH
KALAU KAU MAU TAHU TABIAT PEMIMPIN ZAMAN SEKARANG, BOI!! BARU MENCALONKAN DIRI
SUDAH JADI PENIPU, BAGAIMANA KALAU BAJINGAN SEPERTI ITU JADI KETUA!!???(SP:
119)”.
Terakhir, pesan-pesan yang berhasil
membuka hati kita yang disampaikan oleh pengarang, yaitu kita harus memiliki
sikap optimis yang akan meningkatkan semangat dalam melakukan sesuatu “Jika kuibaratkan semangat manusia sebuah
kurva, sebuah grafik, maka sikap optimis akan membawa kurva itu terus menanjak (SP:
148)”, kita harus selalu berani dan optimis “Bu Muslimah guru SD-ku telah mengajari agar tak takut pada kesulitan
apapun (SP: 183)”, kita tidak boleh mudah menyerah atau pesimis “Arai yang mengingatkanku agar tak mendahului
nasib (SP: 183)” dan pesan yang hampir ada di setiap mozaik yaitu jangan
pernah berhenti untuk bermimpi.
Comments
Post a Comment